Pengajian Kitab Imam Syafii di Pesantren Husnayain
Pada Jumat, 1 Desember 2006, Pesantren Tinggi Husnayain di Jakarta, membuka pengajian Kitab Kuning ‘Ahkamul Quran lil-Imam Syafii’. Acara pembukaan dihadiri oleh pejabat kecamatan Pasar Rebo, sejumlah kyai dan ustad di sekitar pesantren, juga wakil Perguruan As-Syafiiyah Jakarta. Ustad yang mengasuhnya adalah Syeikh Abdurrahman al-Baghdadi, pakar ilmu fiqih, dan dosen Pesantren Husnayain.
KH A. Cholil Ridwan, pemimpin pesantren, menjelaskan latar belakang dan pentingnya pengajian yang dikhususkan untuk para ustad, mubalig, dosen, dan peminat Ulumuddin ini. Kata Kyai Khalil, yang juga salah satu ketua MUI Pusat, saat ini kajian tentang Imam Syafii sangat penting, mengingat begitu banyak hujatan-hujatan terhadap Imam Syafii, dan juga banyak orang yang menggunakan nama ‘Syafii’ tetapi pemikirannya justru banyak bertentangan dengan pemikiran dari Imam Syafii. Banyak juga yang merasa menjadi pengikut Imam Syafii, tetapi kurang memahami apa sebenarnya pemikiran Imam Syafii.Dalam acara pembukaan itu dibacakanlah riwayat hidup Imam Syafii oleh Ustad Abdurrahman. Meskipun beberapa bagian dari riwayat hidup Imam Syafii sudah saya dengar sejak kecil, tetapi malam itu saya banyak mendapatkan cerita baru tentang kehebatan dan keagungan Imam Syafii. Dalam riwayatnya, Imam Syafii sendiri menceritakan, bahwa beliau lahir di Gaza, Palestina, tahun 150 Hijriah, pada saat meninggalnya Imam Abu Hanifah. Sehingga orang menyatakan, “Imam yang telah pergi digantikan Imam yang baru.”
Imam Syafii ditinggal ayahnya sejak bayi dan tumbuh sebagai anak yatim dan miskin. Pada usia 2 tahun, ia dibawa Ibunya ke Mekkah. Di Baitullah, beliau menghafal Al-Quran dan kemudian mempelajari bahasa dan sastra Arab, termasuk syair. Kemudian beliau menfokuskan untuk mempelajari hadits Rasulullah saw, sehingga menguasai semua ilmu tersebut. Imam Syafii sendiri menceritakan, bahwa beliau sudah menghafal Al-Quran saat berumur 7 tahun, dan hafal
Kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik pada umur 10 tahun. Ketinggian Imam Syafii dalam ilmu agama sangat masyhur dan mendapatkan pengakuan yang luas. Pada umur 18 tahun, beliau sudah diminta oleh para ulama agar memberikan fatwa. Itu berarti pengakuan atas statusnya sebagai seorang mujtahid. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, bahwa Imam Syafii adalah seorang yang sangat memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Beliau tidak pernah merasa puas dalam mencari dan mengumpulkan hadits. Kata Imam Ahmad : ‘’Tidak seorang pun yang memegang pena dan tinta kecuali dia berfigur kepada Imam Syafii.’’
Bukan hanya itu, Imam Syafii juga memiliki akhlak yang sangat mulia dan seorang ahli ibadah yang tekun. Di bulan Ramadhan, beliau sanggup mengkhatamkan Al-Quran sebanyak 60 kali dalam shalat. Sang Imam pun dikenal ahli ibadah dan sangat sedikit tidurnya. Selama kurun waktu 16 tahun, misalnya, beliau hanya pernah makan sampai kenyang, satu kali saja, dan kemudian disesalinya, karena berdampak negatif terhadap daya pikir dan ibadah. Kedermawanan Imam Syafii juga luar biasa. Pernah beliau sampai bangkrut tiga kali, menjual harta sampai perhiasan istrinya, hanya untuk menolong orang yang membutuhkan. Jangan ditanya, bagaimana kegigihan Imam Syafii dalam belajar dan mengajarkan ilmunya.
Syahdan, suatu ketika Imam Syafii berkunjung ke rumah Imam Ahmad bin Hanbal. Sudah lama putri Imam Ahmad merasa penasaran dengan sosok Imam Syafii, karena ayahnya banyak memuji Sang Imam. Maka, sepanjang hari, diamat-amatilah perilaku Imam Syafii saat bertamu tersebut. Dia sangat terkejut, karena didapatinya Imam Syafii tidak seperti yang diceritakan ayahnya. Sang
Imam ternyata makan cukup banyak, tidak melaksanakan shalat malam, dan melakukan shalat shubuh tanpa wudhu.
Esoknya, dia mengadukan itu kepada ayahnya. Imam Ahmad meminta putrinya menanyakan langsung kepada Imam Syafii.
Apa jawab Imam Syafii? Kata Imam, beliau makan banyak adalah untuk menggembiraqan tuan rumah; beliau tidak shalat malam dan tidak tidur, tetapi malam itu beliau berhasil memecahkan 70 masalah fiqih; dan beliau tidak berwudhu saat shalat subuh, karena wudhu Isya’-nya belum batal.
Itulah riwayat hidup Imam Syafii yang hingga kini, pemikiran-pemikirannya bagitu banyak diikuti oleh kaum Muslimin sepanjang zaman. Imam Syafii meninggal pada malam Jumat di hari terakhir bulan Rajab, 204 Hijriah. Ada yang menceritakan, bahwa Imam Syafii menderita ambeien untuk waktu yang lama, namun beliau tidak pernah berhenti untuk mengajarkan ilmunya. Bukan kalangan Ahlu Sunnah yang mengagumi Imam Syafii.
Sejumlah tokoh Mu’tazilah, seperti al-Qadhi Abdul Jabbar dan Ibn al-Ikhshadh juga bermadzhab Syafii. Riwayat Imam Syafii dan para ulama besar lainnya sangat perlu kita ambil hikmahnya dalam rangka mengarungi kehidupan di zaman ini. Para ulama itulah yang menjadi pewaris para Nabi. Melalui para ulama itulah, kita mewarisi agama Islam. Kita mewarisi Al-Quran dan hadits Nabi melalui para ulama, sejak zaman sahabat Nabi saw hingga periode para Imam mazhab, dan para ulama-ulama berikutnya. Tanpa mereka, kita tidak mampu mewarisi dan menerapkan Islam dengan baik. Para ulama kemudian merumuskan berbagai bidang keilmuan – seperti ilmu lughah, ilmu tafsir, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, ilmu hadits, dan sebagainya –untuk memudahkan umat dalam memahami dan mengamalkan Islam. Kita akan sangat kesulitan untuk menentukan mana bagian shalat yang merupakan syarat, rukun, dan sunnah, bila tidak dibimbing oleh para ulama.
Tauladan Imam Hanafi
Insya Allah setiap Jum'at ketiga, al-Qalam akan menampilkan tokoh-tokoh Islam tempo dulu. Harapannya tentu saja dapat sebagai uswah atau tauladan bagi pembaca.
Nama asli beliau sejak kecil ialah Nu'man bin Tsabit. Lahir di kota Kufah, 699 Masehi. Ayahnya berasal dari kota Kabul Afghanistan. Dengan ini jelaslah bahwa beliau bukan keturunan Arab asli. Kenapa beliau terkenal dengan sebutan Hanafi? Kisahnya sebagai berikut:
Imam Hanafi mempunyai sejumlah putera, di antaranya bernama Hanifah. Maka orang sering memanggilnya dengan sebutan Abu Hanifah. Kemudian baliau menjadi ulama besar. Dan, di segenap kota besar, Abu Hanifah itulah nama yang terkenal bagi beliau. Beliau berijtihad berdasarkan penelitian tentang hukum Islam. Hasil ijtihad itulah yang dikenal orang dengan sebutan "Mazhab Imam Hanafi".
Menurut riwayat, Ayah Imam Hanafi (Tsabit) dikala masih kecil pernah diajak orang tuanya berziarah kepada Ali bin Abi Thalib. Waktu itu Imam Ali berkenan menerima tamunya dan sebelum kembali ke rumah, beliau berdoa; mudah-mudahan dari antara keturunan Tsabit ada yang menjadi orang yang tergolong baik-baik dan berderajad luhur.
KEPATUHAN IMAM HANAFI. Dia adalah seorang yang kokoh dan kuat jiwanya, selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan beribadat dan beraklaq karimah. Setiap harinya, disamping sangat rajin menunaikan kewajiban, beliaupun jarang tidur dengan pulas meski malam hari. Tiap-tiap malam yang akhir beliau selalu shalat lail dan membaca al-Qur'an sampai khatam.
Imam Syaqiq al Balkhi berkata: "Imam Abu Hanifah adalah seorang yang terhindar jauh dari perbuatan yang dilarang oleh agama; ia sepandai-pandai orang tentang ilmu agama dan seorang yang banyak ibadahnya kepada Allah; amat berhati-hati tentang hukum-hukum agama."
Imam Ibrahim bin Ikrimah berkata: "Di masa hidupku, belum pernah aku melihat seorang alim yang amat benci kemewahan hidup dan yang lebih banyak ibadahnya kepada Allah dan yang lebih pandai tentang urusan agama, selain Imam Abu Hanifah."
UJIAN BERAT. Imam Abu Hanifah terkenal berani dalam menegakan kebenaran yang telah diyakini. Berani dalam pengertian yang sebenarnya, berani yang berdasarkan bimbingan wahyu Ilahi. Beliau tak bagitu cinta terhadap kemewahan hidup, maka dari itu tak sedikitpun hatinya khawatir menderita sengsara. Karena sunnatulah masih berlaku bagi manusia, ialah; bahwa orang yang cinta kemewahan hidup di dunia biasanya menjadi panakut, tidak berani menegakan kebenaran yang diridlai Allah.
Beliau adalah seorang yang apabila melihat kemungkaran atau maksiat, dengan seketika itu juga berusaha memusnahkannya. Sifat kelunakan segera lenyap dari hatinya, dan merah kedua matanya, kemudian bertindak keras terhadap kejahatan atau kemungkaran yang diketahuinya.
Beliau berani menolak kedudukan yang diberikan oleh kepala negara; berani menolak pangkat yang ditawarkan oleh pihak penguasa waktu itu dan tidak sagggup menerima hadiah dari pemerintah berupa apapun juga. Hingga karenyanya beliau ditangkap dan ditahan dalam penjara, dipukul, didera dan dianiaya di penjara sampai menyebabkan kematiannya. Yang demikian itu karena beliau seorang pemberani dalam menegakan kebenaran yang diyakininya.
Suatu hari Gubernur Iraq Yazid bin Amr menawarkan jabatan Qadli kepada Imam Hanafi, tetapi beliau menolaknya. Tentu saja sang Gubernur tersingggung dan kurang senang. Perasaan kurang senang itu menumbuhkan rasa curiga. Oleh sebab itu, segala gerak-gerik Imam Hanafi diamat-amati. Kemudian pada suatu hari beliau diberi ancaman hukum cambuk atau penjara manakala masih jua menolak tawaran itu. Sewaktu mendengar ancaman tersebut, Imam Hanafi menjawab: "Demi Allah, aku tidak akan menduduki jabatan yang itu, sekalipun aku sampai dibunuh karenanya." Sejumlah ulama besar negeri Iraq mengkhawatirkan nasib Imam Abu Hanifah. Mereka datang berduyun-duyuun ke rumahnya untuk menyampaikan harapan supaya beliau suka menerima jabatan yang diberikan itu.
Kata mereka; "Kita memohon kepada engkau dengan nama Allah, hendaknya engkau suka menerima jabatan yang telah diberikan kepada engkau. Gubernur Yazid sudah bersumpah akan menghukum engkau jika masih juga kau tolak tawarannya. Kita masing-masing sebagai kawan yang sangat erat tidak akan suka jika engkau dijatuhi hukuman, dan kita tidak mengharapkan peristiwa itu menimpa diri engkau."
Imam Hanafi tetap teguh, tak bergeming sedikitpun dari kebenaran pendirianya. Akibatnya beliau ditangkap dan dipenjarakan oleh polisi negara selama dua Jum'at. Gubernur memerintahkan agar Imam Abu Hanifah setiap hari dicambuk sebanyak 10 kali.
Sekalipun demikian beliau tetap bersikeras pada pendirian semula. Akhirnya beliau dilepaskan dari penjara setelah menikmati geletaran cambuk algojo sebanyak 110 kali.
Ketika Imam keluar penjara, tampak kelihatan di wajahnya bengkak-bengkak bekas cambukan. Hukuman cambuk itu memang semacam hukuman yang hina. Gubernur sengaja hendak menghinakan diri beliau yang sebenarnya mulia itu.Hukuman itu oleh Imam Hanafi disambut dengan penuh kesabaran serta dengan suara bersemangat beliau berkata: "Hukuman dunia dengan cemeti masih lebih baik dan lebih ringan bagiku tinimbang cemeti di akherat nanti."Demikian hal ihwal Sang Imam tatkala menghadapi ujian berat pada pertama kali. Padahal beliau sudah berusia agak lanjut, kurang lebih 50 tahun.Imam Abu Hanifah di usia itu sempat menyaksikan peralihan kekuasaan negara, dari tangan bani Umayyah ke tangan bani Abbasiyyah sebagai kepala negara pertama adalah Abu Abbas as Saffah. Sesudah itu kepala negara digantikan oleh Abu Ja'far al Manshur, saudara muda dari Khalifah sendiri.Pada masa pemerintahan Abu Ja'far, Imam Abu Hanifah mendapat panggilan dari Baginda di Bagdad. Sesampai di istana, beliau di tunjuk dan diangkat menjadi hakim (qadhi) kerajaan di Baghdad. Baginda bersumpah keras bahwa beliau harus menerima jabatan itu. Tawaran jabatan setinggi itu beliau tolak dan bersumpah tidak akan sanggup mengerjakannya.
Imam Hambali
Bernama Muhammad as Syaibani bin Hambal. Lahir di masa pemerinyahan Muhammad al Mahdi, dinasti Bani Abbasiyah, bulan Rabiul Awwal 164 Hijriyah (780 Masehi). Keadaan kecilnya tak banyak beda dengan Imam Syafei, yatim. Di antara empat Imam madzab, beliau tergolong bungsu dan terakhir. Sudah menjadi sunatullah, setiap orang besar dan berderajad tinggi di sisi Allah, niscaya mendapatkan ujian berat. ujian itu sengaja turun dari hadirat-Nya, untuk manusia, supaya terbukti di tengah khalayak, apakah ia loyang atau emas. Jika emas, sekalipun tersuruk di comberan, ia akan tetap sebagai emas yang kemilau.Kemudian Syekh Basyar al-Marosy lari menyembunyikan diri selama 20 tahun. Baru sepeninggal Harun al rasyid, Syekh Basyar berani menampakkan diri dan menyiarkan pendapatnya di tengah masyarakat ramai, bahwa al-Qur'an itu sesungguhnya makhluk. Orang pun ramai memperbincangkan masalah itu. Baginda al Amin selaku pengganti Harun al Rassyid masih bisa meredam gejolak yang timbul. Ia masih meneruskan usaha syahadatnya dan masih memberikan ancaman berat kepada orang yang sependapat dengan Syeikh Basyar.
Setelah jabatan jatuh ke tangan Baginda al Ma'mun, kebijaksanaan pemerintah Bani Abbasyiah berubah drastis. Golongan mu'tazillah mendapat lampu hijau dan dukungan dari belia. Pemikiranpemikiran mereka mulai banyak berpengaruh dalam menentukan kebijaksaan pemerintah. Termasuk juga pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur'an itu makhluk (barang yang diciptakan oleh Allah).
Ulama besar yang berani lantang mengatakan bahwa al-Qur'an itu bukan makhluk ialah Imam Hambali. Beliau menegaskan bahwa al -Qur'an kalamullah (firman Allah), bukan makhluk.
Saat itu juga Imam Ahmad dipanggil menghadap, bersama tiga ulama yang lain, yaitu Imam Muhammad bin Nuh, Imam Ubaidilah bin Umar dan Imam Hasan bin Hammad. Kedua orang yang belakangan tatkala ditanya, menyatakan sependapat dengan pemerintah. Sedang Imam Hambali an Imam Muhammad bin Nuh tetap pada pendiriannya.
Berbeda pendapat dengan pengusasa berarti menentang negara. Menentang negara berarti mengganggu stabilitas. Oleh karena itu perlu diamankan, alias dipenjarakan.
Sementara Imam Hambali dan kawannya mendekam dalam penjara, ada permintaan melalui surat dari orang-orang yang tak suka kepada keduanya, agar mereka diarak ke kota Tharsus. Pada suatu hari, permintaan tersebut dikabulkan oleh penguasa. Kedua Imam tersebut diikat dengan rantai dan dibawa ke kota Tharsus disaksikan orang banyak. Berikutnya dimasukkan penjara lagi.
Maimmun bin al Ashbagh berkisah, "Saya datang menghadiri majelis pengadilan negara yang akan memeriksa perkara Imam Ahmad. Di majelis pengadilan terlihat pedang-pedang telah dihunuskan, tombak-tombak telah dicadangkan, panah-panah telah dibusurkan, dan cambuk cemeti siap dilepaskan untuk Imam Ahmad. Datanglah baginda al Ma'mun, lalu duduk di atas kursi yang telah tersedia di balai persidangan. Imam Ahmad dipanggil menghadap, baginda berkata, 'Atas nama saya sebagai kerabat Rasulullah saw saya akan memukul engkau dengan cemiti sampai engkau membenarkan apa yang telah saya benarkan, atau engkau menyatakan seperti apa yang saya katakan.'"
Kepada algojo tukang pukul baginda berkata, "Ambillah orang itu dan pukullah." Algojo melaksanakan perintah dengan cekatan. Imam Hambali diseret lalu dipukul dengan cemeti. Pukulan pertama telah mengenai sasaran. Beliau tenang tanpa sesambat, dan berucap lirih, "bismillah". Pukulan cemeti kedua beliau mengucapkan kata "La qaula wala quwwata illabillah". Pada getaran cambuk yang ketiga dengan lantang beliau berguman, "al Qur'ab kalamullabi ghairu makhluqin."
Kemudian pada pukulan cemeti yang keempat beliau sempat dendangkan kalam Ilahi "Qul lan yushibana illa ma kataballah lana"(9:51).
Algojo tukang pukul kerajaan itu tak sedikitpun merasa iba. Ia terus-menerus mengayunkan cemetinya ke sekujur tubuh mulia Imam Ahmad. Terhitung 29 kali cambukan menimpanya. Sekujur tubuh beliau berlepotan darah segar. Betapa sakitnya. Itukah yang meski kau bayar demi mempertahankan sebuah keyakinan yang haq indallabi?
Di kala itu juga tali celana yang beliau pakai putus terkena sabetan cambuk. Nyaris aurat beliau terbuka. Beliau merasakan hal itu. Dalam suasana sepedih itu beliau masih sempat berpikir bagaimana jika auratnya terbuka. Bukankah hal itu kurang berkenan di hadirat Allah? Untuk membenahinya jelas sulit, maka beliau tiba-tiba mengangkat tangan dan melepaskan pandangan matanya ke arah langit, sembari komat-kamit menggerakan bibir menyuarakan kalimat do'a. Seketika celana melorot yang hampir lepas itu kembali seperti sedia kala. Aurat pun terselamatkan dari musibah malu di muka orang. Sesudah hukum cambuk dirasa cukup, maka beliau dibawa masuk ke dalam penjara lagi dalam keadaan yang sangat menyedihkan.
Berselang beberapa bulan berikutnya baginda al Ma'mun wafat. Sebelum wafat, beliau berpesan agar kebijaksanaan dan pendiriaanya terhadap al-Qur'an tetap diteruskan oleh penggantinya. Siapa saja, tak peduli alim ulama, jika melawan, harus didera dan dipenjarakan. Terhadap Imam Hambali, selama belum bergeming, masih harus mendekam dalam penjara dan dihukum berat.
Pesan al Ma'mun yang sejelek itu oleh penggantinya, al Mu'tashin, dilaksanakan dengan baik. Imam Hambali mendapatkan perlakuan yang sama sebagaimana sebelumnya. Suatu hari beliau dipanggil menghadap baginda. Imam Ahmad diminta beradu argumentasi dengan sejumlah ulama pemerintah. Di antaranya bernama Ahmad bin Abi Daud, ketua majelis ulama kerajaan yang dipandang paling pandai dan berbobot dalam keilmuan. Seorang ulama yang fatwanya selalu mendukung kebijaksanaan kerajaan. Dalam perdebatan itu Imam Ahmad berpenampilan tenang, tak mengada-ada. Beliau gagah dan berdiri kokoh di atas dasar kebenaran yang selalu berpihak kepada Allah swt. Tak ada sedikitpun terlintas di raut wajahnya ambisi memenangkan perdebatan. Sebab beliau yakin, kebenaran akan kelihatan sekalipun penguasa dunia berusaha mengebirinya. Kebenaran selalu bersandar kepada Sang Sumber kebenaran itu sendiri, Allah swt. Satu demi satu argumentasi Ahmad bin Abi Daud dipatahkan dengan telak dan meyakinkan. Namun demikian dasar penguasa dzalim, al Mu'tashim tetap bersikukuh hendak memaksakan pendapatnya.
Imam Hambali sebagai alim ulama besar dan arif yang memegang Qur'an dan Sunnah dengan tegasnya mengemukakan jawaban kepada baginda al-Mu'tashim, "Wahai amirul mu'minin, berikan dan ajukanlah kepadaku suatu alasan yang terang berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah, biar nanti aku sadar dan insaf, lalu aku ikut mengatakan bahwa al-Qur'an itu makhluk. Bagaimana aku harus mengikuti pendapat dan pendirian orang lain yang tidak didasari alasan yang benar?"
Imam Hambali tetap meringkuk dalam penjara sampai matinya baginda al Mu'tashim. Yang menggantikan dan pemegang tampuk kekuasaan untuk selanjutnya anak mahkotanya sendiri yang bernama al Warsiq billah. Perlakukan kepada Imam Hambali tak mengalami perubahan sedikitpun. Imam masih juga dibiarkan menghuni penjara samapi al Watsisq wafat.
Demikianlah secara berlarut-larut yang mulia Imam Hambali menempati rumah tahanan. Terkadang di penjara beliau mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Pernah beberapa kali punggungnya didorong dari belakang dengan tongkat kayu, bahkan pernah dengan pedang dan sebagainya. Beliau sering jatuh terjerembab di lantai saat didorong-dorong. Maklum usia beliau waktu itu sudah lanjut. Biasanya beliau jatuh pingsan jika sudah begitu. Badan beliau tidak memungkinkan menanggung beban hukuman berat seperti itu. Badannya mulai rapuh dimakan usia. Hanya aqidah dan pendiriannya tak pernah rapuh. Bagai batu karang keras yang seolah tak bergeming sama sekali saat ombak ganas menerpa.
PRIBADI YANG MENGAGUMKAN
Imam Hambali orangnya cukup berwibawa. Rata-rata yang pernah bersua dengan beliau merasakan getaran wibawa saat berhadapan dan bertatap muka langsung. Ishaq bin Ibrahim berkisah tentang orang -orang besar, tetapi tak pernah ditemui orang besar seperti Imam Hambali. Seseorang seolah bergetar hatinya dan amat sungkan seperti serba gemetar jika melihat dan berbicara dengan Imam Hambali.
Imam Adul Qasim bin Salam berkata, "Aku pernah duduk bersama-sama Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan, Imam Yahya bin said, dan Imam Abdurrahman bin Mahdi, maka aku tidak merasakan takut sedikitpun kepada salah seorang dari mereka seperti takutku kepada Imam Ahmad bin Hambal. Pada suatu hari aku menengoknya di penjara untuk menyampaikan salam penghormatan. Ketika itu ada seorang lelaki menanyakan suatu masalah kepadaku, maka aku tidak dapat menjawabnya, karena takut kepada pribadi beliau."
Semua keadaan disebabkan adanya pantulan cahaya dari pribadi dan akhlak beliau yang mulia. Beliau adalah seorang yang pendiam. Setiap untaian kata yang akan diucapkan selalu dipertimbangkan bermutu dan tidaknya, berguna dan mubadzirnya. Beliau yakin setiap ungkapan kata menuntut pertanggungjawaban. Ketawadhuannya luar biasa, sekalipun ilmu dan akhlaknya diakui oleh siapapun. Beliau tak pernah berbangga dan bersombong diri. Bersikap lembut dan selalu berpenampilkan sangat ramah, tidak begitu lunak dan tidak begitu keras. Beliau sangat pemalu, memejamkan mata apabila didepannya ada sesuatu yang dilarang. Suka menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia dan tidak suka mendengar perkataan keji dan kurang pantas.
Apabila beliau berjalan, kemudian ada orang ikut berjalan di belakangnya, beliau tidak suka. Diajaknya orang itu berjalan bersama-sama. Tak pernah sekalipun beliau menjulurkan kakinya ke depan di pertemuan orang banyak. Menurutnya hal itu tak pantas dan kurang sopan. Kalau membenci seseorang, beliau berusaha membenci karena Allah. Jika suka kepada seseorangpun, harus suka semata karena Allah. Beliau mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri. Beliau sangat simpati kepada orang yang sedang menderita, fakir miskin, dan kerapkali duduk-duduk di tengah-tengah mereka.
Imam Hambali wafat dalam usi 77 tahun. Kematiannya sempat menebarkan kabut duka di segenap wilayah kerajaan Bani Abbasiyah. Baginda al Mutawakkil sendiri turut berduka mendalam atas kematian seoran yang pernah diperlakukan aniaya oleh leluhurnya dulu.
IMAM MALIKI
Benda-benda yang telah ditetapkan ijma atas keharamannya karena riba ada enam macam, yaitu: Emas; Perak; Gandum; Syair; Kurma; Garam.
Menurut Imam Syafi’i, diharamkan riba pada emas dan perak karena kedua benda tersebut mempunyai satu ‘illat (sebab) yang tetap, yaitu termasuk jenis harga. Imam Hanafi berpendapat: ‘Illat diharamkannya emas dan perak karena kedua benda tersebut adalah jenis yang dapat ditimbang. Oleh karena itu, haram menjual atau membeli secara riba segala benda yang ditimbang.
Adapun empat ‘Illat yang lain, menurut Imam Syafi’i dalam qaul jaded ialah karena benda-benda itu adalah jenis makanan. Oleh karena itu, haram riba pada minyak makanan dan air, menurut pendapat yang shahih. Adapun menurut pendapat qaul qadim-nya ialah karena benda-benda tersebut termasuk jenis makanan atau jenis yang dapat disukat atau termasuk jenis yang dapat ditimbang.
Ulama ahlu zahir berklata: Riba itu tidak di ‘illat-kan. Oleh karena itu, riba hanya terjadi pada enam macam benda itu. Imam Maliki berpendapat: ‘Illatnya adalah karena benda tersebut termasuk makanan yang menyenangkan dan dapat dipergunakan untuk makanan pengenyang di antara jenis-jenis makanan yang dapat disimpan. Dari Imam Hambali diperoleh dua riwayat. Pertama, seperti pendapat Imam Syafi’i. Kedua, seperti pendapat Imam Hanafi.
Rabi’ah berkata: Setiap barang yang diwajibkan zakat padanya maka haramlah riba padanya, seperti tidak dibolehkan menjual seekor unta demham dua ekor unta. Ibnu Sirin berkata: yang menjadi ‘illat adalah jenisnya sendiri. Dari semua itu, dinukilkan oleh sebagian para sahabat ra., bahwa riba yang diharamkan dalam jual beli hanyalah riba nasi’ah, bukan riba tafdhil.
Apabila yang demikian sudah menjadi ketetapan, seluruh kaum Muslimin sepakat tidak membolehkan menjual emas dengan emas jika salah satunya tidak sama-sama hadir ketika terjadi jual beli. Demikian juga tidak boleh menjual perak dengan perak, baik yang sudah terurai maupun sudah ditempa atau belum ditempa, kecuali seimbang, baik dalam timbangannya maupun masa pembayarannya. Oleh karena itu, tidak boleh menjual sesuatu dari yang benda-benda tersebut jika salah satunya tidak disertakan dalam jual beli itu.
Para Imam Mazhab sepakat tentang bolehnya menjual emas dengan perak, perak dengan emas yang tidak sama satu dengan yang lainnya. Tidak boleh m,enjual gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, kecuali jika sama banyaknya dan kontan. Hal itu pun jika dilakukan dengan penakaran atau penimbangan.
Boleh menjual kurma dengan garam, menjual garam dengan kurma yang berlainan ukurannya asalkan tunai, dan mereka tidak boleh berpisah dari tempat penjualan tersebut sebelum terjadi serah terima, kecuali menurut Imam Hanafi. Tidak boleh menjual emas yang sudah dijadikan pakaian dengan emas yang baru ditempa, dengan yang berlainan jumlahnya. Demikian menurut Imam Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Imam Maliki berpendapat: Boleh menjual dengan harga dari sejenisnya dan tidak boleh berpisah sebelum masing-masing menerima haknya.
Tidak boleh berpisah sebelum mereka melakukan serah terima haknya masing-masing dalam jual beli makanan dengan makanan. Demikian menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat: Boleh, dan yang diharamkan berpisah sebelum serah terima hanyalah terbatas pada jual beli emas dan perak.
Segala sesuatu selain emas dan perak, makanan dan minuman tidak diharamkan padanya riba, yakni tidak diharamnkan jual beli tidak kontan, tidak sama jumlahnya dan timbangannya, dan berpisah sebelum serah terima. Imam Hanafi berpendapat: Hanya maslah jenis yang mengharamkan jual beli secara kredit.
Imam Maliki berpendapat: Tidak boleh menjual seekor binatang dengan dua ekor binatang sejenis, yang digunakan untuk keperluan yang sama, seperti sama-sama untuk disembelih dan sebagainya.
Apabila penjualan ditentukan dengan dirham dan dinar, harus dibayar dengan ketentuan tersebut. Demikian menurut Imam Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Imam Hanafi berpendapat: Tidak ditentukan dengan hal demikian.
Nama dan Keturunan Imam Al-Shafi’i
Nama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin Al-Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abd al-Muttalib bin ’Abd Manaf bin Ma’n bin Kilab bin Murrah bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Al-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizar bin Ma’d bin ‘Adnan bin Ud bin Udad.
Keturunan beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘Abd Manaf. Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.
Penghijrahan ke Palestine
Sebelum beliau dilahirkan, keluarganya telah berpindah ke Palestine kerana beberapa keperluan dan bapanya terlibat di dalam angkatan tentera yang ditugaskan untuk mengawal perbatasan Islam di sana.
Kelahiran dan Kehidupannya
Menurut pendapat yang masyhur, beliau dilahirkan di Ghazzah – Palestine pada tahun 150 Hijrah. Tidak lama sesudah beliau dilahirkan bapanya meninggal dunia. Tinggallah beliau bersama-sama ibunya sebagai seorang anak yatim. Kehidupan masa kecilnya dilalui dengan serba kekurangan dan kesulitan.
PENGEMBARAAN IMAM AL-SHAFI’I
Hidup Imam As-Shafi’i (150H – 204H ) merupakan satu siri pengembaraan yang tersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadap pembentukan kriteria ilmiah dan popularitinya.
Al-Shafi’i di Makkah ( 152H – 164H )
Pengembaraan beliau bermula sejak beliau berumur dua tahun lagi (152H), ketika itu beliau dibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya iaitu dari Ghazzah, Palestine ke Kota Makkah untuk hidup bersama kaum keluarganya di sana.
Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap kerana beliau dihantar ke perkampungan Bani Huzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahawa penghantaran anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat mewarisi kemahiran bahasa ibunda mereka dari sumber asalnya yang belum lagi terpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dan sebagainya. Satu perkara lagi adalah supaya pemuda mereka dapat dibekalkan dengan Al-Furusiyyah (Latihan Perang Berkuda). Kehidupan beliau di peringkat ini mengambil masa dua belas tahun ( 152 – 164H ).
Sebagai hasil dari usahanya, beliau telah mahir dalam ilmu bahasa dan sejarah di samping ilmu-ilmu yang berhubung dengan Al-Quran dan Al-Hadith. Selepas pulang dari perkampungan itu beliau meneruskan usaha pembelajarannya dengan beberapa mahaguru di Kota Makkah sehingga beliau menjadi terkenal. Dengan kecerdikan dan kemampuan ilmiahnya beliau telah dapat menarik perhatian seorang mahagurunya iaitu Muslim bin Khalid Al-Zinji yang mengizinkannya untuk berfatwa sedangkan umur beliau masih lagi di peringkat remaja iaitu lima belas tahun.
Al-Shafi’i di Madinah ( 164H – 179H )
Sesudah itu beliau berpindah ke Madinah dan menemui Imam Malik. Beliau berdamping dengan Imam Malik di samping mempelajari ilmunya sehinggalah Imam Malik wafat pada tahun 179H, iaitu selama lima belas tahun.
Semasa beliau bersama Imam Malik hubungan beliau dengan ulama-ulama lain yang menetap di kota itu dan juga yang datang dari luar berjalan dengan baik dan berfaedah. Dari sini dapatlah difahami bahawa beliau semasa di Madinah telah dapat mewarisi ilmu bukan saja dari Imam Malik tetapi juga dari ulama-ulama lain yang terkenal di kota itu.
Al-Shafi’i di Yaman ( 179H – 184H )
Apabila Imam Malik wafat pada tahun 179H, kota Madinah diziarahi oleh Gabenor Yaman. Beliau telah dicadangkan oleh sebahagian orang-orang Qurasyh Al-Madinah supaya mencari pekerjaan bagi Al-Shafi’i. Lalu beliau melantiknya menjalankan satu pekerjaan di wilayah Najran.
Sejak itu Al-Shafi’i terus menetap di Yaman sehingga berlaku pertukaran Gabenor wilayah itu pada tahun 184H. Pada tahun itu satu fitnah ditimbulkan terhadap diri Al-Shafi’i sehingga beliau dihadapkan ke hadapan Harun Al-Rashid di Baghdad atas tuduhan Gabenor baru itu yang sering menerima kecaman Al-Shafi’i kerana kekejaman dan kezalimannya. Tetapi ternyata bahawa beliau tidak bersalah dan kemudiannya beliau dibebaskan.
Al-Shafi’i di Baghdad ( 184H – 186H )
Peristiwa itu walaupun secara kebetulan, tetapi membawa erti yang amat besar kepada Al-Shafi’i kerana pertamanya, ia berpeluang menziarahi kota Baghdad yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan para ilmuan pada ketika itu. Keduanya, ia berpeluang bertemu dengan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, seorang tokoh Mazhab Hanafi dan sahabat karib Imam Abu Hanifah dan lain-lain tokoh di dalam Mazhab Ahl al-Ra’y.
Dengan peristiwa itu terbukalah satu era baru dalam siri pengembaraan Al-Imam ke kota Baghdad yang dikatakan berlaku sebanyak tiga kali sebelum beliau berpindah ke Mesir.
Dalam pengembaraan pertama ini Al-Shafi’i tinggal di kota Baghdad sehingga tahun 186H. Selama masa ini (184 – 186H) beliau sempat membaca kitab-kitab Mazhab Ahl al-Ra’y dan mempelajarinya, terutamanya hasil tulisan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, di samping membincanginya di dalam beberapa perdebatan ilmiah di hadapan Harun Al-Rashid sendiri.
Al-Shafi’i di Makkah ( 186H – 195H )
Pada tahun 186H, Al-Shafi’i pulang ke Makkah membawa bersamanya hasil usahanya di Yaman dan Iraq dan beliau terus melibatkan dirinya di bidang pengajaran. Dari sini muncullah satu bintang baru yang berkerdipan di ruang langit Makkah membawa satu nafas baru di bidang fiqah, satu nafas yang bukan Hijazi, dan bukan pula Iraqi dan Yamani, tetapi ia adalah gabungan dari ke semua aliran itu. Sejak itu menurut pendapat setengah ulama, lahirlah satu Mazhab Fiqhi yang baru yang kemudiannya dikenali dengan Mazhab Al-Sha